Sabtu, 03 Agustus 2013

AL-QUR'AN Sebagai Keajaiban Rasullah SAW

Seorang yang buta huruf, yang tidak bisa baca tulis, ia belum pernah menjadi penulis sebuah buku semisal puisi, aturan hukum, sebuah buku doa umum, atau Alkitab, dan dihormati sampai hari ini oleh keenam suku bangsa seluruh umat manusia sebagai keajaiban kemurnian gaya, kebijaksanaan dan kebenaran. Itu adalah sebuah keajaiban dari Muhammad (saw)- 'keajaiban yang berjalan', dan memang ini keajaiban. 1 (Reginald Bosworth Smith)

keajaiban dan mukjizat alquran
Di abad 21 ini warga dari sebuah negara Eropa, yaitu para pemilih Swiss telah mendukung pelarangan pembangunan masjid dengan menara di negara mereka. Al-Qur'an, yang diturunkan di gurun Arabia pada abad ketujuh, telah menyatakan bahwa tujuan peperangan defensif adalah untuk mempertahankan kesucian biara-biara,  gereja, sinagog dan Masjid. Al-Qur'an menyebut tempat ibadah umat Islam terakhir di list ini. [2] Apakah Al-Qur'an suatu Mukjizat atau bukan?

Toleransi beragama bukanlah satu-satunya ajaran dimana Al-Qur'an unggul dalam hal ini dibandingkan buku-buku sekular maupun kitab-kitab agama. Sejak 1983 setengah juta orang telah meninggal di Amerika dikarenakan kecelakan lalu lintas terkait alkohol, untuk menyebutkan hanya satu masalah dari alkohol [3]  Al-Qur'an dengan tegas melarang alkohol, menyelamatkan orang-orang beriman dari sumber kejahatan ini. Apakah ini keajaiban atau bukan?

Demikian pula Sir Godfrey Higgins menulis,
"Menurut hukum Muhammad segala bentuk perjudian sangat tegas dilarang. Manfaat dari hukum ini pasti tidak akan ada yang menyangkal. Ia akan menjauhkan dari semua kebaikan akhlaknya. Karena dikatakan bahwa ia hanya disalin dari Alkitab. Saya belum mengamati larangan terhadap kebiasaan buruk ini, baik dalam dekalog (sepuluh perintah Allah) maupun Injil.[4]
Sekarang 15 juta orang menunjukkan tanda-tanda kecanduan judi di Amerika, yang mengakibatkan diri mereka sendiri dan masyarakat dengan kesengsaraan. Al-Qur'an telah memangkas kejahatan ini dari akarnya. Apakah Al-Qur'an ajaib atau tidak?

Muhammad yang mencela dan menyalin moralitas dari Injil

Sir Godfrey Higgins menulis dalam hal pertahanan oleh Nabi Muhammad saw: 

"Seorang filusuf mungkin akan menduga bahwa ketika Muhammad saw telah mengambil manfaat dari ajaran moral yang sangat baik dari Kristianisme, ia merasa, tidak hanya mengambil yang baik, tetapi juga meninggalkan kejahatan, mengadopsi moralitas, juga menghidari kehidupan merahib yang pada zamannya dunia penuh dengan pertumpahan darah dan penderitaan, dan dengan cepat menempatkannya pada keadaan yang paling merendahkan derajat kebodohan" [5]. Al-Qur'an telah melarang cara hidup monastik dalam kalimat yang jelas. (Alhadid: 28) 1400 tahun kemudian Gereja Katolik setuju dalam negosiasi dengan Gereja Anglikan. [7] [8] Setiap kali kita membandingkan Al-Qur'an dengan Alkitab, Al-Qur'an selalu terdepan, bukankan ini suatu keajaiban?

Al-Qur'an diturunkan di tengah-tengah masyarakat yang hidup di abad ketujuh namun memiliki 800 ayat yang menekankan pada studi alam. Bukankah ini suatu keajaiban? Ia telah mengantisipasi baik tentang Big Bang maupun tentang semua makhluk hidup membutuhkan kandungan air.
"Tidaklah orang-orang yang ingkar melihat bahwa seluruh langit dan bumi keduanya dahulu suatu massa yang menggumpal, lalu Kami pisahkan keduanya ? Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air. Apakah mereka tidak mau beriman ? [9]
Bukankah ini suatu keajaiban?

Al-Qur'an telah diturunkan di tengah-tengah masyarakat dimana sedikit sekali yang bisa membaca dan menulis, tetapi kemurnian teksnya telah terjaga selama lebih dari 14 abad. Klaim seperti itu tidak kita jumpai untuk Alkitab. Fakta-fakta ini diteliti dalam artikel lainnya, Kompilasi Alquran ke Dalam Sebuah Teks. (insyallah menyusul, pent).  Apakah ini bukan suatu keajaiban?

Al-Qur'an telah mengeluarkan tantangan bersejarah tidak hanya untuk zaman Nabi saw sendiri tetapi juga untuk semua orang di semua zaman:
Katakanlah, “Seandainya berhimpun manusia dan jin untuk mendatangkan yang semisal Alquran ini, tidaklah mereka akan sanggup mendatangkan yang sama seperti ini,  walaupun sebagian mereka kepada sebagian yang lain sebagai penolong.” [10]
Tantangan tersebut tetap bertahan sampai 14 abad setelah turunnya. Orang-orang memandangnya dengan negatif dan mulai mengkritik Al-Qur'an dengan satu atau beberapa alasan. Tetapi itu hanyalah angan-angan mereka dan bentuk paranoia dan tidak ada langkah yang nyata. Fakta dan realitas dalam hal ini adalah tetap bahwa tantangan Al-Qur'an ini telah keluar dan tidak ada penulis yang telah mencoba untuk menyambut tantangan ini, dengan cara yang akan bertahan oleh ujian waktu. Sebuah kitab yang dikaitkan dengan seorang yang tak terpelajar dan belum ada yang berani menerima tantangan ini! 

Profesor Laura Vaglieri yang menjabat sebagai Profesor Kebudayaan Arab dan Islam di Naples Eastern University menulis:

"Meskipun lawan-lawan Islam telah diundang oleh Muhammad saw untuk menulis sebuah kitab yang sama dengan beliau atau minimal beberapa bagian surat... tidak ada yang mampu menghasilkan sesuatu yang bisa berdiri sebanding dengan Al-Qur'an, mereka berusaha menentang Rasulullah saw dengan tangan mereka tetapi gagal dalam menyaingi keunggulan Al-Qur'an [11]
 Tidakkah ini suatu keajaiban?

Filsuf jerman Johann Wolfgang Von Goethe berkata,
“Betapa kita sering mempelajari al-Qur’an, mula-mula selalu menimbulkan jijik, kemudian secara bertahap timbul suatu ketertarikan, ia menakjubkan dan akhirnya pada akhirnya timbul suatu kekuatan yang mengagumkan" 12 13. 
Profesor LAura Vaccia Vaglieri menjelaskan:
"Keajaiban luar biasa Islam adalah Al-Qur'an, dimana tradisi yang secara konstan dan tidak terputus terus mengirimkan kepada kita berita tentang kepastian absolut. Ini adalah sebuah kitab yang tidak bisa ditiru. Setiap ekspresinya bersifat komprehensif, namun dalam ukuran yang pas, tidak terlalu panjang tidak terlalu pendek.Gaya bahasanya original, tidak ada model untuk gaya bahasa tersebut dalam sastra Arab pada zaman yang mendahuluinya. Efek yang dihasilnya pada jiwa manusia diperoleh tanpa bantuan adventif melalui keunggulannya sendiri yang melekat.
Ayat-ayatnya sama-sama fasih sepanjang teks, bahkan ketika terkait dengan hal-hal seperti perintah dan larangan yang tentu akan memperngaruhi nadanya. Kisah para nabi, deskripsi awal dan akhir dunia, penyebutan dan penggambaran atribut Ilahi yang berulang tetai dilakukan dengan cara yang begitu mengesankan yang tidak melemahkan efek.Teksnya mengalir  dari satu topik ke topik lainnya tanpa kehilangan kekuatannya. Kedalamanan dan keindahan, suatu kualitas yang umumnya tidak bisa bersatu, tetapi disini ia menyatu,di mana masing-masing tokoh retorika menemukan aplikasi yang sempurna. Bagaimana bisa kitab luar biasa ini menjadi karya Muhammad, seorang Arab yang buta huruf yang sepanjang hidupnya walaupun hanya dua atau tiga ayat pun tidak ada yang mengungkapkan kualitas yang puitis? [14]
Apakah ini bukan suatu keajaiban?

Bernard Shaw yang dianugerahi Hadiah Nobel untuk sastra 1925 mengatakan:
"Saya selalu menempatkan agama Muhammad [saw] di penghargaan tertinggi karena daya keindahannya. ini adalah satu-satunya agama tampaknya bagi saya yang memiliki kemampuan asimilasi ke fase eksistensi perubahan yang membuatnya menarik baik setiap masa. Saya telah memprediksi tentang agama Muhammad, bahwa ia akan diterima oleh Eropa suatu saat nanti karena sudah dapat diterima saat ini." [15]
Apakah ini bukan suatu keajaiban 

Laura Vaccia Vaglieri, Profesor di Universitas Naples lebih lanjut menekankan:
"Untuk kitab ini, selain pada kesempurnaan dalam bentuk dan metodenya, ia membuktikan diri telah melampaui batas imitasi bahkan dalam hal substansinya. Di dalamnya antara lain kita membaca perkiraan peristiwa masa depan, dan deskripsi peristiwa yang telah terjadi sejak berabad-abad sebelumnya tetapi umumnya telah diabaikan. Ada referensi yang sering pada hukum alam, berbagai sains baik agama maupun sekular. Kami menemukan ada sebuah toko besar ilmu pengetahuan yang berada diluar kapasitas manusia yang paling cerdas, atau filosof yang paling besar dan politisi yang paling kuat. Untuk semua alasan ini Al-Qur'an tidak bisa menjadi karya seorang yang tak berpendidikan, yang menghabiskan hidupnya di tengah-tengah masyarakat yang jauh dari orang-orang belajar dan agama, seorang yang selalu bersikeras bahwa ia hanyalah seorang laki-laku yang hanya seperti yang lain, dan dengan demikian tidak dapat melakukan mukjizat kecuali ia memiliki bantuan dari Allah yang Maha Kuasa. Al-Qur'an bisa memiliki sumbernya hanya melalui Dia Yang mengatahui segala sesuatu di langit dan di bumi [16 ]
Apakah ini keajaiban atau bukan?

Saya mengajak para pembaca Kristen dalam kata-kata Reginald Bosworth Smith,
"Untuk membedakan antara yang aksidental dan esensial, yang fana dan yang kekal, diatas semua itu, secara terus menerus dengan meletakkan cermin di atas diri sendiri, dan mencoba untuk memastikan bahwa seseorang yang sesuai dengan prinsip besar Kristen yaitu menilai dan memperlakukan orang lain seperti halnya ia ingin dinilai dan diperlakukan; adalah resep untuk menilai urusan dengna cara yang adil dan tidak bias. Al-Qur'an menatakan mengenai pengetahuan yang tidak terbatas dan wawasan yang terkandung dalam kitab suci: "Katakanlah, “Sekiranya lautan menjadi tinta untuk menuliskan kalimat-kalimat Tuhan-ku, niscaya akan habis lautan itu sebelum kalimat-kalimat Tuhan-ku habis, sekalipun Kami datangkan sebanyak itu lagi sebagai tambahan.”  [18 ]
Ini adalah pengalaman yang Goethe alami setelah berulang kali memahami Al-Qur'an.

Almasih di zaman ini, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan:
"Al-Qur'an bukan saja tak tertandingi karena keindahan komposisinya, tetapi tak tertandingi karena semua klaim keunggulan yang meliputinya dan itu adalah kebenaran, apa saja yang berasal dari Allah keunikannya tidak saja karena satu kualitas tetapi karena semua kualitasnya. Mereka yang tidak menerima Al-Qur'an sebagai kebenaran dan wawasan abadi yang komprehensif, maka ia tidak menghargai Al-Qur'an sebagaimana harusnya ia dihargai. 
Sebuah tanda yang diperlukan untuk mengakui Firman Suci dari Allah taala adalah ia harus unik dalam semua kualitasnya, setelah kami amati bahwa apapun yang berasal dari Allah adalah bersifat unik dan tak tertandingi walaupun hanya sebutir gandum, dan kekuatan manusia tidak ada yang bisa menandinginya. Menjadi tak tertandingi maksudnya adalah menjadi tak terbatas, artinya suatu barang menjadi tak tertandingi hanya ketika keajaiban dan kualitasnya tak terbatas dan tak ada habisnya. Seperti yang baru saja kami katakan, karakteristik ini ditemukan dalam segala hal yang diciptakan oleh Allah taala. Misalnya jika keajaiban dari daun pohon diselidiki selama seribu tahun, periode itu akan habis tetapi keajaiban dari daun tersebut tidak akan berakhir. Hal itu karena ia telah mewujud melalui kekuasaan yang tak terbatas, harus terdiri dari keajaiban dan kualitas yang tak terbatas. [19]
Apakah ini bukan suatu keajaiban atau tidak?

Ruang ini tidak memungkinkan saya untuk melanjutkannya. saya mengajak pembaca untuk meninjau sebuah terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Inggris 5 volume dalam bentuk web 20. Untuk keterangan lebih lanjut kunjungi :http://www.alislam.org/quran/


[1] Reginald Bosworth Smith, Mohammed dan Mohammedanism, 1889 edisi. Halaman 290.
[2] Al Quran 22:42.
[3] http://www.alcoholalert.com/drunk-driving-statistics.html
[4] Godfrey Higgins Esq, Permintaan maaf untuk kehidupan dan karakter Mohamed nabi atau terkenal. Tahun publikasi 1829. Halaman 35. Dicetak oleh G. Smallfield, Hackney. Buku ini tersedia di Archive.org tersebut.
[5] Sir Godfrey Higgins Esq, Permintaan maaf untuk kehidupan dan karakter Mohamed nabi atau terkenal. Tahun publikasi 1829. Halaman 30. Dicetak oleh G. Smallfield, Hackney.
[6] Al Quran 58:23.
[7] http://www.bbc.co.uk/worldservice/news/2009/11/091121_anglicans_nh_kv.shtml
[8] http://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/8405437.stm
[9] Al Quran 21:31.
[10] Al Quran 17:88.
[11] Laura Veccia Vaglieri. Sebuah Interpretasi Islam. Pertama kali diterbitkan pada tahun 1957. Goodward buku, 2004. Halaman 42-44.
[12] RVC Bodley. Rasul. Hari ganda dan Company Inc, 1946. Halaman 237.
[13] http://www.alislam.org/quran/Quran-and-non-Muslims-20080128MN.pdf
[14] Laura Veccia Vaglieri. Sebuah Interpretasi Islam. Pertama kali diterbitkan pada tahun 1957. Goodward buku, 2004. Halaman 42-44.
[15] Muhammad dan ajaran Quran By Davenport John, Mohammad Amin Diterbitkan oleh Sh. Muhammad Ashraf, 1964. Asli dari University of California, Didigitalkan oleh Google.com pada Des 5, 2008, 127 halaman.
[16] Laura Veccia Vaglieri. Sebuah Interpretasi Islam. Pertama kali diterbitkan pada tahun 1957. Goodward buku, 2004. Halaman 42-44.
[17] Reginald Bosworth Smith, dalam pengantar, Mohammed nya dan Mohammedanism. 1.889 edisi.
[18] Al Quran18: 110.
[19] Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad. Karamat-us-Sadiqin, Ruhani Khaza'in, Vol. 7, hlm 60-62.
[20] http://www.alislam.org/quran/
Share:

Sabtu, 27 Juli 2013

Kelembutan Rasulullah Dan Pengemis Yahudi

Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya.
Namun, setiap pagi Rasulullah Muhammad SAW mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW. Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari, sahabat terdekat Rasulullah SAW yakni Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang tidak lain adalah isteri Rasulullah SAW. Beliau bertanya kepada anaknya itu, “Anakku, adakah kebiasaan kekasihku yang belum aku kerjakan?”

Aisyah RA menjawab, “Wahai Ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum Ayah lakukan kecuali satu saja.”

“Apakah Itu?”, tanya Abubakar RA. “Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada di sana”, kata Aisyah RA.

Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar RA mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar RA mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil menghardik, “Siapa kamu?!”

Abubakar RA menjawab, “Aku orang yang biasa (mendatangi engkau).”
“Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku”, bantah si pengemis buta itu. “Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu ia berikan padaku”, pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW”.

Seketika itu juga pengemis itu pun menangis mendengar penjelasan Abubakar RA, dan kemudian berkata, “Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, tapi ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia….”

Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA saat itu juga dan sejak hari itu menjadi muslim.

(cara-muhammad.com)
Share:

Kamis, 11 Juli 2013

Amal Shaleh di Bulan Ramadhan

Bulan Ramadlan adalah bulan yang penuh berkah, bulan yang diturunkan padanya Al Qur’an, bulan yang terdapat padanya malam yang lebih baik dari seribu bulan, dan setiap malamnya Allah Ta’ala memerdekakan hamba-hambaNya dari api Neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ مَرَدَةُ الْجِنِّ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ ، وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجِنَّانِ فَلَمْ يُغْلَقُ مِنْهَا بَابٌ ، وَنَادَى مُنَادٍ : يَا بَاغِىَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ ، وَيَا بَاغِىَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ وَذَلِكَ كُلُّ لَيْلَةٍ.

“Apabila telah masuk malam pertama dari bulan Ramadlan, setan-setan yaitu jin-jin yang durhaka akan diikat, pintu-pintu Neraka akan dikunci dan tidak satupun pintu yang terbuka. Pintu-pintu surga akan dibuka dan tidak satupun pintu yang terkunci. Dan akan ada yang menyeru, “Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah, dan wahai orang yang menginginkan keburukan tahanlah.” Allah memerdekakan hamba-hambaNya dan itu terjadi pada setiap malam.” (HR At Tirmidzi, ibnu Majah dan lainnya).

Kewajiban setiap muslim adalah berlomba-lomba mencari keberkahan bulan ini dengan banyak beramal shalih, agar kita termasuk orang-orang yang dimerdekakan oleh Allah dari api Neraka. Sungguh sangat merugi orang yang keluar dari bulan Ramadlan dalam keadaan tidak mendapat ampunan Allah Ta’ala. Jabir bin Abdillah radliyallahu ‘anhu berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ رَقِىَ الْمِنْبَرَ فَلَمَّا رَقِىَ الدَّرَجَةَ الْأُولَى قَالَ آمِيْنَ ثُمَّ رَقِىَ الثَّانِيَةَ فَقَالَ آمِيْنَ ثُمَّ رَقِىَ الثَّالِثَةَ فَقَالَ آمِيْنَ فَقَالُوا يَا رَسُوْلَ اللهِ سَمِعْنَاكَ تَقُوْلُ آمِيْنَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ قَالَ لَمَّا رَقِيْتُ الدَّرَجَةَ الأُولَى جَاءَنِي جِبْرِيْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَانْسَلَخَ مِنْهُ وَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ فَقُلْتُ آمِيْنَ ثُمَّ قَالَ شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ فَقُلْتُ آمِيْنَ ثُمَّ قَالَ شَقِيَ عَبْدٌ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ فَقُلْتُ آمِيْنَ.

Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam menaiki mimbar, ketika beliau menaiki tangga yang pertama beliau bersabda, “Aamiin.” Ketika menaiki tangga kedua beliau berucap, “Aamiin.” Ketika menaiki tangga yang ketiga beliau berucap, “Aamiin.” Para shahabat berkata, “Wahai Rasulullah, kami mendengar engkau mengucapkan Aamiin tiga kali.” Beliau bersabda, “Ketika aku menaiki tangga yang pertama, Jibril ‘alaihissalam datang kepadaku dan berkata, “Celaka hamba yang mendapati bulan ramadlan, setelah lepas darinya ternyata ia tidak diampuni dosa-dosanya.” Akupun mengucapkan Aamiin. Kemudian ia berkata, “Celaka hamba yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satunya namun tidak memasukkannya ke dalam surga. Akupun mengucapkan Aamiin. Kemudian ia berkata, “Celaka hamba yang disebutkan namamu di sisinya tetapi ia tidak bershalawat untukmu. Akupun mengucapkan Aamiin. (HR Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad[1]).

Setiap kita pasti tidak rela bila terkena do’a tersebut, maka tiada jalan kecuali bersungguh-sungguh menjalani ramadlan dengan banyak beramal shalih.



AMALAN-AMALAN DI BULAN RAMADLAN

Adapun amalan yang dapat kita lakukan di bulan Ramadlan adalah:

1. Shaum Ramadlan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. رواه البخاري ومسلم

Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang berpuasa ramadlan karena iman dan berharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR Bukhari dan Muslim).

Shoum adalah ibadah yang agung di sisi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

“Semua amal anak Adam dilipat gandakan; satu kebaikan ditulis sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Azza wa Jalla berfirman, “Kecuali shoum karena ia untukKu, dan Aku yang akan membalasnya; ia meninggalkan syahwat dan makanannya karenaKu.” Orang yang berpuasa mendapatkan dua kegembiraan: kegembiraan ketika berbuka puasa, dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabbnya. Bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah dari minyak kesturi.” (HR Bukhari dan Muslim dan ini adalah lafadz Muslim).

Pada hari kiamat, shoum akan datang memberikan syafa’at kepada pelakunya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ

“Shiyam dan al Qur’an akan memberikan syafa’at kepada hamba pada hari kiamat. Shiyam berkata,”Ya Rabb, aku telah mencegahnya dari makanan dan syahwatnya di waktu siang maka beri aku syafa’at untuknya. Al Qur’an berkata,”Ya Rabb, aku telah mencegahnya tidur di waktu malam, beri aku syafa’at untuknya.” (HR Ahmad).[2]

Bahkan, orang yang berpuasa akan disediakan pintu khusus ke surga, pintu itu bernama Royyan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ يَدْخُلُ مَعَهُمْ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَدْخُلُونَ مِنْهُ فَإِذَا دَخَلَ آخِرُهُمْ أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَد

“Sesungguhnya surga mempunyai pintu yang bernama Ar Rayyan yang hanya dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa pada hari kiamat, tidak selain mereka yang memasukkinya. Akan dikatakan,”Dimana orang-orang yang berpuasa? Merekapun dari pintu tersebut. Apabila semuanya telah masuk, akan dikunci dan tidak ada yang memasukkinya seorangpun.” (HR Bukhari dan Muslim).

Namun, berapa banyak orang yang berpuasa akan tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali menahan haus dan lapar, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ

“Berapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya menahan lapar dan dahaga saja.” (HR Ibnu Majah).[3]

Hal itu terjadi karena ia tidak berpuasa dari apa yang Allah haramkan, ia seakan menganggap bahwa puasa itu hanya menahan diri dari pembatal-pembatal puasa saja, dalam hadits:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَه

“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan selalu mengamalkannya, maka Allah tidak butuh kepada puasanya.” (HR Bukhari).[4]

Karena hakikat shaoum adalah menahan dari dari segala sesuatu yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat kita, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرْبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَث

“Bukanlah shoum itu sebatas menahan diri dari makanan dan minuman, akan tetapi shoum adalah menjauhi perkara yang sia-sia dan kata-kata kotor.” (HR Ibnu Khuzaimah).[5]

Syarat dan Rukun puasa.

Adapun rukun puasa ada dua, pertama adalah niat dan kedua adalah menahan diri dari semua perkara yang membatalkan puasa seperti makan dan minum dengan sengaja, jima’ di siang hari, haidl dan nifas, muntah dengan sengaja dan murtad dari agama islam. Kaidah yang hendaknya kita ketahui adalah bahwa tidak boleh kita mengklaim bahwa sesuatu itu membatalkan puasa kecuali dengan dalil syari’at yang shahih. Barang siapa yang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dengan sengaja maka tidak bermanfaat baginya qodlo, kewajiban ia adalah bertaubat kepada Allah. Sedangkan bila ia melakukannya karena udzur maka hendaklah ia mengqodlo.

Adapun syarat-syarat wajibnya puasa ada enam yaitu: Muslim, baligh, berakal, mempunyai kemampuan untuk berpuasa, muqim tidak safar, dan tidak haidl dan nifas.

2. Qiyam ramadlan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.   رواه البخاري ومسلم

Dari abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang qiyamulail di bulan ramadlan karena iman dan berharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR Bukhari dan muslim).

Qiyam Ramadlan adalah ibadah yang berpahala besar yang senantiasa dirutinkan oleh para shahabat dan generasi setelahnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah  melakukannya secara berjama’ah selama tiga malam, lalu beliau tinggalkan karena khawatir di wajibkan atas umatnya. Imam Abdurrazzaq meriwayatkan dalam mushannafnya (2/264 no 7746) dengan sanad yang shahih kepada Aisyah rdliyallahu ‘anha, ia berkata:

صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لَيْلَةً فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي الْمَسْجِدِ وَمَعَهُ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى الثَّانِيَةَ فَاجْتَمَعَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ أَكْثَرَ مِنَ الْأُوْلَى فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةَ أَوْ الرَّابِعَةَ امْتَلَأَ الْمَسْجِدُ حَتَّى غَصَّ بِأَهْلِهِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ فَجَعَلَ النَّاسُ يُنَادُوْنَهُ الصَّلَاةَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مَا زَالَ النَّاسُ يَنْتَظِرُوْنَكَ الْبَارِحَةَ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ أَمَا أَنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ أَمْرُهُمْ وَلَكِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهِمْ.

 “Suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di bulan Ramadlan di masjid bersama beberapa orang. Di malam kedua beliau kembali shalat, dan orang-orang yang ikut shalat lebih banyak dari malam pertama. Ketika di malam ketiga atau keempat, masjid menjadi penuh sampai-sampai beliau masuk ke dalam rumahnya dan tidak keluar. Maka orang-orang memanggil beliau, “Shalat !” Di pagi harinya, Umar bin Al Khathab berkata, “Tadi malam orang-orang menunggumu hai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Perbuatan mereka tidak tersembunyi bagiku, akan tetapi aku khawatir di wajibkan atas mereka.”

Dan dalam hadits Abu Dzarr, beliau berkata:

صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ مِنْ الشَّهْرِ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا فِي السَّادِسَةِ وَقَامَ بِنَا فِي الْخَامِسَةِ حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْنَا لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ فَقَالَ إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ ثَلَاثٌ مِنْ الشَّهْرِ وَصَلَّى بِنَا فِي الثَّالِثَةِ وَدَعَا أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ فَقَامَ بِنَا حَتَّى تَخَوَّفْنَا الْفَلَاحَ قُلْتُ لَهُ وَمَا الْفَلَاحُ قَالَ السُّحُورُ

“Kami berpuasa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak sholat malam (berjama’ah) dengan kami sampai tersisa tujuh hari dari bulan Ramadlan. Maka beliau qiyam (pada malam 23) bersama kami hingga lewat sepertiga malam. Kemudian beliau tidak qiyam dengan kami pada enam hari tersisa, dan kembali qiyam dengan kami pada lima hari tersisa (malam 25) hingga lewat tengah malam. Lalu kami berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana bila sisa malam ini kita gunakan untuk shalat sunnah ?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang sholat bersama imam sampai selesai, maka dituliskan untuknya sholat semalam suntuk”.

Kemudian beliau tidak qiyam bersama kami sampai tersisa tiga hari bulan Ramadlan, beliau memanggil istri-istrinya dan keluarganya, beliau pun qiyam dengan kami (di malam 27) hingga kami khawatir tidak sempat melakukan al falah. Aku berkata: “Apa itu al Falah ?” ia berkata: “Sahur”. (HR At Tirmidzi, ibnu Majah, ibnu Hibban, ibnu Khuzaimah dan lainnya. At Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih”.)

Dalam hadits ini disebutkan bahwa orang yang qiyam bersama imam sampai selesai, dituliskan untuknya shalat semalam suntuk. Ini adalah keutamaan yang besar bagi orang yang melakukannya. Hadits ini juga menunjukkan bahwa Rasulullah dan para shahabat melakukan shalat tarawih di awal malam, bukan di akhir malam dan itulah waktu yang paling utama untuk shalat tarawih.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qiyam ramadlan secara berjama’ah hanya tiga malam saja karena beliau khawatir di wajibkan atas umatnya. Namun setelah wafat, tidak mungkin lagi wahyu turun dan tidak mungkin diwajibkan. Oleh karena itu Umar memandang untuk kembali dilaksanakan qiyam ramadlan dengan satu imam. Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya dari Abdurrahman bin Al Qari ia berkata:

خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبَدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُوْنَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِي يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ.

“Aku keluar bersama Umar bin Al Khathab radliyallahu ‘anhu suatu malam di bulan Ramadlan menuju masjid. Ternyata manusia berpencar pencar; ada yang shalat sendirian, dan ada yang berjamaah dengan beberapa orang. Umar berkata: “Aku memandang seandainya dikumpulkan kepada satu imam saja, tampaknya lebih bagus.” Kemudian beliau bertekad kuat melakukannya. Di malam yang lain, aku keluar bersamanya, sementara manusia shalat berjama’ah dengan imam mereka. Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Dan waktu yang biasa mereka tidur padanya lebih baik dari yang mereka bangun padanya[6]”. Maksudnya akhir malam dan dahulu mereka melakukannya di awal malam.

Perkataan Umar: “Sebaik-baiknya bid’ah”. Maksudnya adalah bid’ah secara bahasa, dan bukan bid’ah secara istilah. Karena bagaimana mungkin disebut bid’ah secara istilah sementara perbuatan itu pernah dilakukan oleh Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Rasulullah meninggalkannya karena khawatir diwajibkan atas umatnya sedangkan kaidah berkata: “Suatu ibadah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, kemudian ditinggalkan oleh beliau karena khawatir diwajibkan, maka boleh melakukannya setelah Rasulullah wafat, karena alasan khawatir diwajibkan telah hilang.

Jumlah raka’at qiyamullail.

Disunnahkan tidak melebihi sebelas raka’at, karena itu yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dirinya dan yang paling utama, sebagaimana dalam hadits Aisyah radliyallahu ‘anha:

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً : يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah lebih dari sebelas raka’at baik di bulan Ramadlan maupun di bulan lain, beliau sholat empat jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat jangan kamu tanya btentang bagus dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga.” HR Bukhari dan Muslim.

Namun apakah boleh melebihi sebelas raka’at? Ini menjadi perselisihan diantara para ulama; mayoritas ulama salaf dan belakangan berpendapat boleh lebih dari sebelas raka’at, bahkan Al Qadli ‘Iyadl berkata, “Tidak ada perselisihan diantara ulama bahwa shalat malam tidak ada batasannya dimana tidak boleh ditambah atau dikurangi, karena shalat malam adalah termasuk ketaatan yang apabila bertambah maka bertambah pula pahalanya. Yang menjadi perselisihan adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang merupakan pilihan beliau untuk dirinya sendiri.”

Pendapat yang penulis pilih adalah pendapat mayoritas ulama yang membolehkan lebih dari sebelas raka’at, berdasarkan hadits:

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

“Shalat malam itu dua raka’at dua raka’at, apabila salah seorang darimu khawatir masuk shubuh, hendaklah ia shalat satu raka’at witir sebagai pengganjil shalatnya.” HR Bukhari dan Muslim.

Hadits ini mutlak tidak memberikan batasan jumlah, adapun hadis Aisyah di atas tidak dapat mengkhususkan keumuman hadits ini karena beberapa alasan:

Pertama: Hadits Aisyah itu menceritakan tentang perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan perbuatan tidak bisa mengkhususkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana disebutkan dalam kitab ushul fiqih.

Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintahkan agar shalat malam hanya sebelas raka’at saja, namun sebatas perbuatan beliau sedangkan semata-mata perbuatan hanya menghasilkan hukum sunnah.

Ketiga: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melarang melebihi sebelas raka’at, oleh karena itu Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Qiyam Ramadlan tidak ditentukan oleh Nabi jumlah tertentu, beliau hanya tidak menambah melebihi tiga belas raka’at di bulan Ramadlan maupun di bulan lainnya… siapa yang meyakini bahwa jumlah qiyam Ramadlan ditentukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang maka ia telah salah.”[7]

3. Tadarus Al-Qur'an.

Membaca Al Qur’an adalah ibadah yang agung dan dzikir yang paling utama. Al Qur’an akan memberikan syafa’at kepada setiap orang yang membacanya, sebagaimana dalam hadits:

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي شَافِعًا لِأَصْحَابِهِ يَوْمَ الْقِيَامَة

“Bacalah Al Qur’an, sesungguhnya ia akan datang memberikan syafa’at kepada para pembacanya pada hari kiamat.” HR Ahmad[8] dan lainnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjanjikan pahala yang besar untuk orang yang membaca Al Qur’an, beliau bersabda:

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرَةِ أَمْثَالِهَا أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ: الم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلْفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

“Siapa yang membaca satu huruf dari kitabullah, maka ia mendapat satu kebaikan, dan satu kebaikan tersebut dihitung sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” HR At Tirmidzi[9] dan lainnya.

Bulan Ramadlan adalah bulan Al Qur’an, dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di setiap bulan Ramadlan tadarus Al Qur’an bersama malaikat Jibril ‘alaihissalam. Ibnu Abbas berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ  

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya di bulan Ramadlan ketika bertemu dengan malaikat Jibril, dan Jibril menemui beliau di setiap malam bulan Ramadlan untuk mudarosah (mempelajari) Al Qur’an.. (HR Al Bukhari).[10]

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tadarus Al Qur’an bersama Jibril ‘alaihissalam di malam bulan Ramadlan, ini menunjukkan bahwa waktu yang paling utama untuk membaca Al Qur’an dan mempelajarinya di bulan Ramadlan adalah di waktu malam. Dan ini juga ditunjukkan oleh sebuah hadits:

الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ

“Shoum dan Al Qur’an akan memberikan syafa’at kepada seorang hamba pada hari kiamat. Shoum berkata, “Ya Rabb, aku telah mencegahnya dari makanan dan syahwat di waktu siang, izinkan aku memberi syafa’at untuknya.” Al Qur’an berkata, “Aku telah mencegahnya tidur di waktu malam, izinkan aku memberi syafa’at untuknya. Keduanya pun diberi izin untuk memberi syafa’at.” HR Ahmad dan lainnya.[11]

Hadits ini menunjukkan keutamaan membaca Al Qur’an di bulan Ramadlan, oleh karena itu dahulu salafushalih lebih banyak menyibukkan dirinya dengan membaca Al Qur’an ketika datang bulan Ramadlan. Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Dahulu salafushalih memperbanyak membaca Al Qur’an di bulan Ramadlan, dalam shalat dan dalam kesempatan lainnya. Imam Az Zuhri rahimahullah apabila telah masuk Ramadlan berkata, “Ia hanyalah untuk membaca Al Qur’an dan memberi makan.” Imam Malik rahimahullah apabila telah datang bulan Ramadlan meninggalkan membaca hadits dan majelis-majelis ilmu dan lebih menyibukkan diri dengan membaca Al Qur’an dari mushhaf. Imam Qatadah biasanya mengkhatam Al Qur’an di setiap tujuh hari, dan di bulan Ramadlan beliau mengkhatam setiap tiga hari…[12]

Imam Abdurrazzaq bin Hammam Ash Shan’ani berkata, “Sufyan Ats Tsauri apabila telah masuk bulan Ramadlan, beliau meninggalkan semua ibadah (yang sunnah) dan bersungguh-sungguh membaca Al Qur’an. Dan Aisyah radliyallahu ‘anha membaca mushaf di awal siang di bulan Ramadlan, apabila matahari telah terbit beliapun tidur.”[13]

4. Memperbanyak shodaqoh.

Dalam hadits ibnu Abbas yang telah kita sebutkan tadi disebutkan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya di bulan Ramadlan… al hadits.

Hadits tersebut memberikan faidah kepada kita bahwa kedermawanan hendaknya lebih di tingkatkan lagi di bulan Ramadlan. Mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih meningkatkan kedemawanan di bulan Ramadlan secara khusus?? Al Hafidz ibnu Rajab menyebutkan banyak faidah mengapa demikian. Beliau berkata, “Meningkatnya kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadlan secara khusus memberikan faidah yang banyak, diantaranya:

Pertama: Bertepatan dengan waktu yang mulia dimana amalan dilipatkan gandakan pahalanya bila bertepatan dengan waktu yang mulia.

Kedua: Membantu orang-orang yang berpuasa, sholat malam, dan berdzikir dalam ketaatan mereka, sehingga orang yang membantu itu mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang dibantu. Sebagaimana orang yang memberikan persiapan perang kepada orang lain mendapat pahala seperti orang yang berperang.

Ketiga: Allah amat dermawan kepada hamba-hamabNya di bulan Ramadlan dengan memberikan kepada mereka rahmat, ampunan dan kemerdekaan dari api Neraka, terutama di malam lailatul qodar. Allah merahmati hamba-hambaNya yang kasih sayang, sebagaimana Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ.

“Sesungguhnya Allah hanyalah menyayangi hamba-hambaNya yang penyayang.” HR Bukhari dan Muslim.[14]

Barang siapa yang dermawan kepada hamba-hamba Allah, maka Allahpun akan dermawan kepadanya dengan karuniaNya, dan balasan itu sesuai dengan jenis amalan.

Keempat: Menggabungkan puasa dan sedekah adalah sebab yang memasukkan ke dalam surga, sebagaimana dalam hadits Ali Radliyallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا فَقَامَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ لِمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِمَنْ أَطَابَ الْكَلَامَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَام

“Sesungguhnya di dalam surga terdapat kamar-kamar yang luarnya terlihat dari dalamnya, dan dalamnya terlihat dari luarnya.” Seorang arab badui berdiri dan berkata, “Untuk siapa wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “Untuk orang yang membaguskan perkatannya, memberi makan, senantiasa berpuasa, dan shalat malam karena Allah sementara manusia sedang terlelap tidur.” HR At Tirmidzi.[15]

Amalan-amalan yang disebutkan dalam hadits ini semuanya ada dalam bulan Ramadlan, maka terkumpul pada seorang mukmin puasa, qiyamullail, shodaqoh, dan berbicara baik karena orang yang sedaang berpuasa dilarang melakukan perbuatan sia-sia dan kotor.

Kelima: Menggabungkan antara puasa dan shodaqoh lebih memberikan kekuatan yang lebih untuk menghapus dosa dan menjauhi api Neraka, terlebih bila ditambah sholat malam. Dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa puasa adalah perisai[16]. Beliau juga mengabarkan bahwa shodaqoh itu dapat memadamkan kesalahan sebagaimana air dapat memadamkan api[17].

Keenam: Orang yang berpuasa tentunya tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan, maka shodaqoh dapat menutupi kekurangan dan kesalahan tersebut, oleh karena itu diwajibkan zakat fithr di akhir Ramadlan sebagai pensuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata yang kotor.

Faidah lainnya adalah yang disebutkan oleh imam Asy Syafi’i, beliau berkata, “Aku suka bila seseorang meningkatkan kedermawanan di bulan Ramadlan karena mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, juga karena kebutuhan manusia kepada perkara yang memperbaiki kemashlatan mereka, dan karena banyak manusia yang disibukkan dengan berpuasa dari mencari nafkah.”[18]

Banyak hadits yng menjelaskan keutamaan shodaqoh, diantaranya hadits:

 مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلَا يَقْبَلُ اللهُ إِلَّا الطَّيِّبَ وَإِنَّ اللهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهَا كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُوْنَ مِثْلَ الْجَبَلِ.

“Siapa yang bershodaqoh dengan sebutir kurma dari hasil usaha yang halal, dan Allah tidak menerima kecuali yang halal, maka Allah akan menerima dengan tangan kananNya, lalu mengembang biakkannya sebagaimana seseorang dari kamu mengembang biakkan anak kudanya sehingga menjadi sebesar gunung.” HR Bukhari dan Muslim[19].

Namun hendaknya orang yang ingin bershodaqoh mendahulukan yang wajib sebelum yang sunnah, karena ia lebih besar pahalanya, sebagaimana dalam hadits:

دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ

“Dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, dinar yang kamu infakkan untuk memerdekakan hamba sahaya, dinar yang kamu infakkan kepada fakir miskin, dan dinar yang kamu infakkan kepada istrimu, yang paling besar pahalanya adalah dinar yang kamu infakkan kepada istrimu.” HR Muslim.[20]

5. Menyegerakan berbuka puasa.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan umatnya agar menyegerakan berbuka puasa, bahkan menjadikannya sebagai tonggak kebaikan umat islam. Beliau bersabda:

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْر

“Manusia (umat islam) senantiasa baik selama mereka bersegera berbuka puasa.”  HR Bukhari dan Muslim.

Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لأَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُون

“Agama ini senantiasa menang selama manusia bersegera berbuka, karena Yahudi dan Nashrani mengakhir-akhirkan berbuka puasa.” HR Abu Dawud dan ibnu majah[21].

Yang dimaksud dengan bersegera berbuka puasa adalah bersegera berbuka ketika matahari telah terbenam walaupun langit masih terlihat terang, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Abi Aufa radliyallahu ‘anhu berkata:

سِرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ صَائِمٌ فَلَمَّا غَرَبَتِ الشَّمْسُ قَالَ « يَا بِلاَلُ انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا ». قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ أَمْسَيْتَ. قَالَ « انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا ». قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلَيْكَ نَهَارًا. قَالَ « انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا ». فَنَزَلَ فَجَدَحَ فَشَرِبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قَالَ « إِذَا رَأَيْتُمُ اللَّيْلَ قَدْ أَقْبَلَ مِنْ هَا هُنَا فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ ». وَأَشَارَ بِأُصْبُعِهِ قِبَلَ الْمَشْرِقِ.

“Kami berjalan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang berpuasa, ketika matahari telah tenggelam, beliau bersabda, “Hai Bilal turunlah dan sediakan makanan berbuka untuk kita.” Bilal berkata, “Wahai Rasulullah, jika engkau menunggu agak sore lagi?” beliau bersabda, “Turunlah dan sediakan makanan berbuka untuk kita.” Bilal berkata, “Wahai Rasulullah, langit masih terang.” Beliau bersabda, “Turunlah dan sediakan makanan berbuka untuk kita.” Bilalpun turun dan mempersiapkannnya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam minum, kemudian beliau bersabda, “Apabila malam telah datang dari arah sana, maka telah masuk waktu berbuka puasa.” Beliau menunjuk ke arah timur. (HR Abu Dawud[22] dan lainnya dengan sanad shahih).

Hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan ta’jil (bersegera berbuka puasa) memberikan kepada kita banyak faidah, diantaranya:

Pertama: Agama ini akan sentiasa menang selama umat islam menyelisihi kaum ahlul kitab dan tidak menyerupai mereka dalam seluruh sisi kehidupan.

Kedua: Berpegang kepada islam hendaknya menyeluruh (kaffah), sebagaimana firman Allah Ta’ala:

يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا ادْخُلُوْا فِي السِّلْمِ كَافَّة

“Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu masuk islam secara kaffah.” (Al Baqarah: 208).

Kita tidak boleh memilah masalah pokok dengan masalah parsial, atau memilah antara cangkang dan inti, karena sikap seperti ini adalah bid’ah yang diada-adakan di zaman ini. Bila masalah ta’jil yang banyak diremehkan oleh kaum muslimin ini dianggap sebagai tonggak kejayaan islam, maka itu menunjukkan bahwa syari’at islam sekecil apapun tidak boleh dianggap remeh, karena semua itu berasal dari Allah pencipta langit dan bumi.

Ketiga: Kejadian-kejadian memilukan yang menimpa kaum muslimin di negeri-negeri islam tidak boleh menjadikan kita membeda-bedakan syari’at Allah atau bahkan menganggap sepele masalah-masalah yang dianggap parsial. Ketika kita mengingkari suatu bid’ah, banyak orang yang berkata, “Mengapa kamu menyibukkan diri dengan masalah-masalah sepele, sementara kaum muslimin dibantai??” apakah ia tidak sadar bahwa kehinaan kaum muslimin disebabkan jauhnya mereka dari ajaran islam yang benar, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ

“Apa-apa yang aku larang tinggalkanlah, dan apa-apa yang aku perintahkan lakukanlah semampu kamu, karena sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah banyak bertanya dan menyelisi Nabi-Nabi mereka.” HR Bukhari dan Muslim.

6. Memperhatikan adab-adab berbuka puasa.

Setelah menjelaskan keutamaan ta’jil, kita akan menjelaskan adab-adab berbuka puasa yang hendaknya diperhatikan oleh setiap orang yang berbuka puasa, diantara adabnya adalah:

Adab Pertama: Berbuka sebelum shalat maghrib.

Berdasarkan hadits Anas radliyallahu ‘anhu, ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ عَلَى رُطَبَاتٍ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuka dengan ruthab sebelum shalat (maghrib).” HR Abu Dawud dan lainnya[23].

Di negeri kita ini ada sebuah fenomena yang harus diingatkan, yaitu banyak kaum muslimin ketika berbuka mereka langsung makan besar sehingga meninggalkan shalat berjama’ah di masjid, tentunya ini tidak sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagusnya kita berbuka dahulu dengan kurma lalu pergi ke masjid untuk shalat berjama’ah, kemudian bila kita ingin melanjutkan makan, kita lakukan setelah shalat maghrib, agar tidak terluput dari keutamaan besar shalat berjama’ah di masjid.

Adab Kedua: Berbuka dengan ruthab, bila tidak ada maka dengan kurma, bila tidak ada maka dengan air.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan agar berbuka dengan kurma, bila tidak ada maka dengan air. Senbagaimana dalam hadits Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuka dengan ruthab (kurma basah) sebelum shalat (maghrib), bila ruthab  tidak ada beliau berbuka dengan tamr (kurma kering), bila tidak ada juga beliau berbuka dengan air.” HR Abu Dawud dan lainnya.

Berbuka dengan ruthab amat bermanfaat untuk kesehatan lambung, terlebih setelah kita menahan lapar seharian sangat sesuai bila berbuka dengan ruthab atau kurma, agar lambung diperkuat terlebih dahulu sebelum dimasukkan makanan yang berat, dan khasiat kurma juga banyak sebagaimana yang disebutkan oleh para ahlinya.

Adab Ketiga: Membaca do’a berbuka puasa.

Do’a yang shahih adalah hadits ibnu Umar:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَفْطَرَ قَالَ « ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ ».

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila telah bberbuka, beliau mengucapkan: “Telah hilang dahaga, dan telah basah tenggorokan, dan telah tetap pahala insyaa Allah.” HR Abu Dawud[24] dan lainnya.

Adapun do’a yang terkenal di negeri kita, yaitu:

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَي رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

“Ya Allah aku berpuasa karenaMu, aku beriman kepadaMu, dan aku berbuka dengan rizkiMu, dengan rahmatMu wahai Dzat yang Maha kasih sayang.”

Ini adalah lafadz yang dibuat-buat dan tidak ada asalnya. Ya, ada riwayat yang menyebutkan, namun tidak ada tambahan: “wabika aamantu.” Juga tidak ada: “birohmatika yaa arhamarrahimin.” Yaitu hadits:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ : أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ :« اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ ».

“Dari Mu’adz bin Zahroh sampai kepadanya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila berbuka mengucapkan: “Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu (Ya Allah aku berpuasa karenaMu, dan aku berbuka dengan rizkiMu).”

Hadits ini dikeluarkan oleh Abu dawud (2360) dan lainnya, semuanya dari jalan Hushain bin Abdurrahman dari Mu’adz bin Zahroh. Dan sanad ini mempunyai dua cacat:

Pertama: Mursal, karena Mu’adz bin Zahroh bukan shahabat.

Kedua: Mu’adz bin Zahroh ini majhul, tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Hushain ini. Ibnu Abi hatim menyebutkannya dalam kitab Al jarhu watta’dil namun beliau tidak menyebutkan celaan (jarh) tidak pula pujian (ta’dil).

Namun hadits ini mempunyai syahid dari hadits Anas dan ibnu Abbas. Adapun hadits Anas diriwayatkan oleh Ath Thbarani dalam Al Mu’jam Ash Shaghier (2/133 no 912) dan Al Ausath (7549) dari jalan Isma’il bin Amru Al bajali haddatsana Dawud bin Az Zabarqon haddatsana Syu’bah dari Tsabit Al bunani dari Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila berbuka mengucapkan: “Bismillah Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu.”

Sanad ini sangat lemah karena ada dua cacat:

Pertama: Isma’il bin Amru Al bajali dikatakan oleh Adz Dzahabi, “Ia dianggap lemah oleh banyak ulama.”

Kedua: Dawud bin Az Zabarqon. Al Hafidz ibnu hajar berkata dalam taqribnya: “Matruk dan dianggap pendusta oleh Al Azdi.”

Adapun hadits ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Ad Daroquthni dalam sunannya (2/185 no 26) dan lainnya dari jalan Abdul Malik bin Harun bin ‘Antaroh dari ayahnya dari kakeknya dari ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaibhi wasallam apabila berbuka mengucapkan: “Allahumma laka shumnaa wa ‘alaa rizqika afthornaa Allahumma taqobbal minna innaka antassami’ul ‘aliim.”

Sanad hadits ini sangat lemah juga, dalam sanadnya terdapat Abdul malik bin Harun, dikatakan oleh Adz Dzahabi dalam kitab diwan dlu’afa: “tarokuuh (para ulama meninggalkannya), As Sa’di berkata, “Dajjal.”[25]

Karena dua syahid ini sangat lemah maka tidak dapat menguatkan hadits tersebut. Wallahu a’lam. Adapun tambahan “wa bika aamantu” dan “birohmatika yaa Arhamarrohimin” adalah tambahan yang tidak ada asalnya sama sekali. Allahul musta’an.

7. Memberi makan untuk orang yang berbuka puasa.

Memberi makan orang yang berbuka puasa adalah ibadah yang agung, sebagaimana dalam hadits:

مَنْ فَطَّرَ صَائِماً ، كَانَ لَهُ مِثْلُ أجْرِهِ ، غَيْرَ أنَّهُ لاَ يُنْقَصُ مِنْ أجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ

“Barang siapa yang memberi makan untuk berbuka orang yang berpuasa, maka ia mendapat seperti pahalanya, akan tetapi pahala orang yang berpuasa tidak berkurang sedikitpun.” HR At Tirmidzi, ibnu Majah, Ahmad dan lainnya.

8. Sahur.

Sesungguhnya sahur adalah sunnah yang sangat ditekankan, dan ia mempunyai beberapa keutamaan, yaitu:

Pertama: Sahur adalah makanan yang berkah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السُّحُورِ بَرَكَة

“Bersahurlah karena sesungguhnya dalam sahur itu terdapat keberkahan.” HR Muslim.

Dalam hadits lain Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:

الْبَرَكَةُ فِي ثَلَاثَةٍ: فِي الْجَمَاعَةِ، وَالثَّرِيدِ ، وَالسَّحُور

“Keberkahan ada pada tiga; berjama’ah, tsarid, dan sahur.” HR Ath Thabrani[26].

Kedua: Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ.

“Sesungguhnya Allah dan malaikatNya bershalawat atas orang-orang yang sahur.” HR Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Ausath[27].

Ketiga: Sebagai pembeda antara puasa kaum muslimin dan puasa ahlul kitab.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَر

“Pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur.” HR Muslim.

Adab-adab sahur.

Disana ada beberapa adab yang hendaknya kita perhatikan dalam bersahur, yaitu:

1. Bersahur dengan kurma.

نِعْمَ سَحُورُ الْمُؤْمِنِ التَّمْر

“Sebaik-baik makanan sahur bagi seorang mukmin adalah kurma.” HR Abu Dawud[28] dan lainnya.

2. Mengakhirkan waktu sahur.

Waktu sahur yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak jauh dari waktu fajar, sebagaimana dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit ia berkata:

تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ : كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَبَيْنَ السُّحُورِ؟ قَالَ : قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً.

“Kami pernah bersahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Anas berkata, “Berapa jarak waktu antara adzan dan sahur ?” Ia menjawab, “Sekitar membaca 50 ayat.” HR Bukhari dan Muslim[29].

Dan itulah yan diamalkan oleh para shahabat setelahnya, Amru bin Maimun Al Audi berkata, “Para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling cepat berbuka dan paling lambat bersahur.”[30] Al hafidz ibnu Hajar ketika menjelaskan bab: “Ta’jil sahur.” Dalam shahih Bukhari berkata, “Maksudnya mempercepat makan sebagai isyarat bahwa dahulu sahur itu mendekati terbitnya fajar. Lalu beliau membawakan riwayat Imam Malik dalam muwatha’nya dari jalan Abdullah bin Abu bakar dari ayahnya berkata, “Dahulu selesai sholat malam kami bersegera makan sahur karena takut fajar menyingsing.”[31]

Namun di zaman ini kita melihat penyimpangan dari sunnah dalam bersahur, kita melihat mereka bersahur sekitar jam satu atau jam dua malam. Tentunya fenomena ini sangat tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat serta para ulama setelahnya.

Hukum imsak.

Ditambah lagi mereka mengada-adakan sebuah perkara baru, yaitu yang disebut dengan imsak, dengan melarang makan dan minum sekitar 10 menit sebelum fajar dengan alasan kehati-hatian. Padahal bila kita perhatikan, pengadaan imsak ini bertentangan dengan hadits, kaidah ushul fiqih dan apa yang difatwakan oleh para ulama.

Adapun hadits, Abu Dawud (no 2352) meriwayatkan dalam sunannya dari jalan Hammad dari Muhammad bin Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْه

“Apabila salah seorang dari kamu mendengar adzan sementara gelas masih ada di tangannya, janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya.”[32]

Dan dalam riwayat Ahmad (2/510) dengan tambahan: “Dan muadzin beradzan ketika fajar telah menyingsing.” Tambahan ini membantah pendapat yang mengatakan bahwa adzan yang dimaksud adalah adzan sebelum fajar.

Hadits ini mengecualikan keumuman ayat dalam surat Al Baqarah: 187 yang artinya: “Makan dan minumlah sampai menjadi jelas bagimu benang putih dari benang hitam dari fajar.” Bahkan sebagian shahabat ada yang berpendapat lebih dari ini, mereka memperbolehkan sahur sampai fajar benar-benar telah menjadi jelas dan terang, silahkan dirujuk kitab Fathul Bari 4/136-137[33].

Adapun kaidah ushul, sebuah kaidah fiqih berkata:

الأصل بقاء ما كان على ما كان

“Pada asalnya sesuatu itu tetap pada asalnya terdahulu.”

Ketika seseorang ragu apakah telah masuk fajar atau belum, lalu ia makan dan ternyata fajar telah masuk, maka tidak batal puasanya, karena pada asalnya malam masih ada sampai ada bukti yang kuat yang menunjukkan bahwa fajar telah menyingsing. Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu berkata, “Allah menghalalkan makan dan minum sahur selama kamu masih ragu sampai kamu tidak merasa ragu.” HR Abdurrazzaq[34]. Ibnul Mundzir berkata, “Ini adalah pendapat mayoritas ulama.”[35] Jadi, kehati-hatian yang diklaim itu sebenarnya adalah was-was yang tidak boleh kita ikuti.

Adapun fatwa ulama, Al Hafidz ibnu Hajar Al ‘Asqolani rahimahullah berkata, “Termasuk bid’ah yang mungkar adalah yang terjadi di zaman ini, yaitu mengumandangkan adzan kedua sebelum fajar menyingsing sekitar sepertiga jam, dan mematikan lampu-lampu untuk dijadikan tanda haramnya makan dan minum bagi orang yang ingin berpuasa. Mereka lakukan itu dengan alasan kehati-hatian dalam ibadah..[36]

Yang terjadi di zaman Al Hafidz tersebut serupa dengan pengadaan imsak di zaman ini, karena sama-sama beralasan kehati-hatian dalam ibadah. Ya, kehati-hatian dalam beribadah adalah terpuji selama tidak terjerat dalam was-was dan menyelisihi sunnah.

9. Umrah.

Umrah di bulan Ramadlan mempunyai keistimewaan lebih dibandingkan dengan umroh di bulan lainnya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam shahihnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً مَعِيْ.

“Sesungguhnya umroh di bulan Ramadlan sama dengan haji bersamaku.”

Ini tentunya adalah kesempatan yang besar untuk meraih pahala yang besar di sisi Allah, terutama bagi mereka yang diberikan keluasan harta oleh Allah Subhanahu wata’ala.

10. I’tikaf.

I’tikaf adalah ibadah yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terutama di sepuluh terakhir bulan Ramadlan, Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada setiap bulan Ramadlan sepuluh hari. Ketika di tahun yang beliau meninggal padanya beliau beri’tikaf dua puluh hari lamanya.” HR Bukhari[37].

Waktu i’tikaf yang paling utama adalah sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan sebagaimana dalam hadits Aisyah radliyallahu ‘anha:

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ.

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadlan sampai beliau Allah mewafatkan beliau.” HR Bukhari dan Muslim[38].

Tempat i’tikaf adalah masjid bukan di rumah, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَأَنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Sementara kalian beri-tikaf di masjid-masjid.” QS Al Baqarah: 187.

Namun para ulama berpendapat apakah yang dimaksud masjid dalam ayat tersebut, sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah hanya tiga masjid saja, berdasarkan hadits:

لَا اعْتِكَافَ إِلَّا فِي الْمَسَاجِدِ الثَّلَاثَةِ.

“Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid.”

Sedangkan (jumhur) mayoritas ulama berpendapat disyari’atkan i’tikaf di setiap masjid berdasarkan keumuman ayat di atas. Namun jumhur berselisihan masjid seperti apa yang diperbolehkan padanya i’tikaf, kebanyakan berpendapat masjid jami’ yaitu masjid yang ditegakkan padanya shalat jum’at.

Disunnah untuk masuk ke masjid setelah maghrib di tanggal dua puluh Ramadlan, dan masuk ke tempat i’tikaf setelah shalat fajar tanggal 21 Ramadlan, berdasarkan hadits Aisyah:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadlan, dahulu aku yang memasangkan kemah untuk beliau, beliau shalat shubuh lalu masuk ke dalamnya.” HR Bukhari[39].

Orang yang beri’tikaf hendaklah menjauhi dua perkara yang membatalkan i’tikafnya, yaitu keluar dari masjid dengan tanpa udzur syar’iy dan berjima’ dengan istri[40]. Dan hendaklah mereka yang beri’tikaf menyibukkan dirinya dengan keta’atan seperti shalat, membaca Al Qur’an, istighfar, dan sebagainya serta tidak dilalaikan dengan sesuatu yang sia-sia.

11. Zakat Fithr.

Zakat fithr adalah kafarat (penebus) bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata yang tidak baik ketika ia berpuasa, ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu berkata:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِين

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fithr sebagai pensuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata yang tidak baik, dan sebagai makanan untuk orang-orang miskin.” HR Abu dawud[41] dan lainnya.

Ia diwajibkan atas setiap kaum muslimin sebanyak satu sho’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ , وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى , وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ , وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاة

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fithr satu sho’ kurma atau satu sho’ sya’ir (gandum), atas hamba sahaya dan merdeka, laki-laki dan wanita, anak kecil dan dewasa dari kaum muslimin, dan beliau memerintahkan agar zakat fithr dibagikan sebelum manusia keluar menuju sholat.” HR Bukhari dan Muslim[42].

Waktu pembagiannya yang wajib adalah sebelum sholat ‘ied sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits di atas. Namun diperbolehkan membayarnya sehari atau dua hari sebelum ied, Nafi’ berkata, “Ibnu Umar memberikannya kepada orang yang berhak menerimanya, dan dahulu mereka membagikannya sebelum ‘iedul fithr sehari atau dua hari.”[43] Adapun setelah sholat ‘ied maka pelakunya berdosa namun ia tetap wajib mengeluarkannya dengan ijma’ ulama, karena zakat fithr adalah hak para hamba[44].

Pada asalnya zakat fithr tidak boleh dibayar dengan uang, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya mewajibkan zakat fithr dengan satu sho’ dari makanan, padahal di zaman beliau ada dinar dan dirham. Namun bila keadaannya darurat atau dibutuhkan atau ada kemashlahatan yang besar maka tidak mengapa dengan uang. Wallahu a’lam.

Adapun mustahiqnya hanya fakir miskin saja, karena zakat fithr termasuk zakat badan bukan zakat harta, karena dalam hadits ibnu Abbas di atas disebutkan bahwa zakat fithr berfungsi sebagai pensuci, ini menunjukkan bahwa ia adalah kafarat sehingga lebih serupa dengan membayar kafarat, sedangkan membayar kafarat itu hanya untuk fakir miskin saja, oleh karena itu ibnu Abbas menyebutkan bahwa zakat fithr itu sebagai makanan untuk fakir miskin. Dan ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul islam ibnu Taimiyah rahimahullah[45].

12. Memperbanyak berdo’a dan dzikir.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa do’a orang yang berpuasa itu dikabulkan, beliau bersabda:

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ: دَعْوَةُ الصَّائِمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Ada tiga do’a yang diijabah: do’a orang yang berpuasa, do’a musafir dan do’a orang yang dizalimi.” HR Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman[46].

Ini adalah kesempatan yang baik agar do’a kita diijabah oleh Allah subhanahu wata’ala, maka hendaklah seorang yang berpuasa banyak disibukkan dengan berdo’a kepada Allah dan juga berdzikir, agar lisan kita selamat dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata yang tidak baik.

[1] No 644 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani rahimahullah.

[2] Dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih targhib no 984.

[3] No 1690 dan Syaikh Al Bani berkata, “Hasan shahih.”

[4] No 1804.

[5] No 1996 dan pentahqiqnya yaitu Syaikh Al A’zami berkata, “Shahih.”

[6] Maksud Umar adalah bahwa shalat tarawih di awal malam lebih utama dari shalat tarawih di akhir malam. Karena di luar Ramadlan, para shahabat biasa tidur di awal malam dan bangun pada sepertiga malam. Ini menunjukkan bahwa waktu shalat tarawih yang paling utama adalah di awal malam, sebagaimana juga ditunjukkan oleh perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits di atas.

[7] Majmu’ fatawa 27/272-273.

[8] Musnad Ahmad no 22213.

[9] Sunan At Tirmidzi no 2910.

[10] No 6.

[11] Musnad imam Ahmad no 6626 dari hadits Abdullah bin Amru. Lihat shahih targhib no 1429.

[12] Majalis Ramadlan hal. 24 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin.

[13] Lathaif Ramadlan hal. 318-319 karya Al Hafidz ibnu Rajab 795H.

[14] Bukhari no 1284 dan Muslim no 923.

[15] Sunan At Tirmidzi no 1985. Dalam sanadnya terdapat Abdurrahman bin Ishaq Al kufi, ia dianggap lemah oleh Al Hafidz ibnu hajar dalam taqribnya, namun Hadits ini mempunyai syahid dari hadits Abu Malik Al Asy’ari yang diriwayatkan oleh imam Ahmad 5/343, dan hadits ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Al Hakim dalam mustadraknya 1/80, dishahihkan oleh Al hakim dan dihasankan oleh Syaikh Al bani.

[16] HR Bukhari no 1894 dan Muslim no 1151.

[17] HR At Tirmidzi no 2619, beliau berkata, “Hadits hasan shahih.”

[18] Lathaif Al Ma’arif hal 310-315 dengan diringkas.

[19] Bukhari no 1410, dan Muslim 2/702 no 1014.

[20] Shahih Muslim no 995.

[21] Sunan Abu Dawud no 2355, dan sunan ibnu majah no 224, dan sanad hadits ini hasan.

[22] Sunan Abu Dawud no 2354.

[23] Sunan Abu Dawud no 2356, imam Ahmad dalam musnadnya 3/164 dengan sanad yang hasan.

[24] Sunan Abu Dawud no 2359 dengan sanad yang hasan.

[25] Dirujuk Irwaul Ghalil 4/36-38.

[26] Al Mu’jamul Kabir 6/251 no 7114. Dan dihasankan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih targhib 1065.

[27] Al Mu’jamul Ausath 6/287, Syaikh Al Bani berkata, “Hasan shahih.” Lihat shahih targhib no 1066.

[28] Sunan Abu dawud no 2347 dan dishahihkan oleh Syaikh Al bani.

[29] Shahih Bukhari no 1821 dan Muslim no 1097.

[30] Dikeluarkan oleh Abdurrazaq dalam Mushannafnya  no 7591 dengan sanad yang shahih.

[31] Fathul Bari 4/137.

[32] Sanad ini hasan, dan hadits ini menjadi shahih dengan dikuatkan oleh Riwayat imam Ahmad dalam musnadnya no 10637 dari jalan Hammad dari Ammar bin Abi Ammar dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan ini adalah sanad yang shahih.

[33] Cet. Darul Ma’rifah Beirut.

[34] Al Mushannaf 4/172 no 7367 dan dishahihkan oleh Al Hafidz ibnu Hajar dalam fathul bari 4/135, beliau berkata, “Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Abu Bakar dan Umar serupa dengannya.

[35] Lihat Fathul Bari syarah shahih Al bukhari 4/135.

[36] Fathul Bari 4/199.

[37] Shahih Bukhari no 2044.

[38] Shahih Bukhari no 2026 dan Muslim no 1172.

[39] Shahih Bukhari no 2045.

[40] Dirujuk kitab shahih fiqih sunnah 2/155.

[41] Sunan Abu Dawud no 1611, dan sanadnya hasan.

[42] Shahih Bukhari no 1503, dan Muslim no 984 dari Abdullah bin Umar radliyallahu ‘anhuma.

[43] Diriwayatkan oleh Bukhari no 1511 dan Muslim no 986.

[44] Lihat shahih fiqih sunnah 2/84.

[45] Lihat Majmu’ fatawa 25/73.

[46] Syu’abul Iman 6/48 no 7463 dan Shaikh Al Bani menshahihkannya dalam silsilah shahihah no 1797.

Sumber: Situs Ustadz Badrusalam
Share:

Mendudukkan Hukum Bersalaman Sesudah Shalat

Bersalaman sesudah shalat merupakan fenomena umum shalat berjama'ah di masjid-masjid negeri ini. Ketika imam selesai salam yang diikuti makmum, segera ia menghadap ke makmum dan menjabat tangan mereka. Kemudian para makmum saling bersalaman dengan orang yang di sebelah kanan dan kirinya, dan sering ditambah orang yang di depan dan di belakangnya. Bahkan sering orang yang selesai melaksanakan sunnah juga menyalami (menjabat tangan) kawan yang duduk di sampingnya, walaupun sudah bertemu dan bertegur sapa sebelum shalat.

Pemandangan ini menunjukkan tradisi yang sudah mengakar. Seolah bersalaman menjadi penyempurna kegiatan shalat berjama'ah. Bahkan, ada yang meyakininya sebagai bagian dari ibadah yang mengiringi shalat, tidak afdhal kalau tidak bersalaman.

Alasan yang diungkapkan untuk membenarkannya bermacam-macam. Ada yang mengiyaskan dengan tuntunan Islam ketika bertemu dengan saudara seiman, yaitu mengucapkan salam yang dilanjutkan dengan bersalaman. Karena di akhir shalat seseorang mengucapkan salam ke kanan dan kirinya, lantas mereka mengikutinya dengan bersalaman, seolah-olah salam ke kanan dan ke kiri bermakna menyalami orang yang di sebelah kanan dan kirinya.

Ada alasan lain yang diungkapkan dengan melihat mashlahat yang ingin diwujudkan, yaitu agar persaudaraan semakin kuat dan persatuan semakin kokoh. Pendapat ini juga didasarkan pada anjuran bersalaman secara umum.

Diriwayatkan dari Al-Barra’ bin Azib, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Bahwa dua orang yang bertemu dan bersalaman akan diampuni dosa mereka sebelum berpisah." (HR Ibnu Majah)

Anjuran Bersalaman

Pada dasarnya bersalaman adalah mubah (boleh), bahkan ada yang mengatakan sunnah karena hal itu dapat memunculkan kecintaan dan kasih sayang serta menguatkan ikatan persaudaraan. 

Keutamaan salaman telah diriwayatkan oleh beberapa hadits. Salah satunya hadits Hudzaifah bin al Yaman, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ”Sesungguhnya seorang mukmin apabila bertemu dengan mukmin lainnya lalu dia mengucapkan salam kepadanya serta menjabat tangannya maka akan gugurlah kesalahan-kesalahan keduanya seperti rontoknya dedaunan dari pepohon." (HR. al-Thabrani di dalam “al Ausath”. Al Mundziriy mengatakan di dalam “at Targhib wa at Tarhib” bahwa aku tidak mengetahui jika di antara para perawinya terdapat seorang pun yang cacat.”

Dari Salman al Farisi, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ”Sesungguhnya seorang muslim apabila bertemu dengan saudaranya lalu menjabat tangannya maka dosa-dosa keduanya akan gugur sebagaimana rontoknya dedaunan dari pohon kering pada hari bertiupnya angin kencang dan akan diampuni dosa keduanya walaupun dosa keduanya seperti buih di lautan.” (HR. al-Thabrani dengan sanad hasan)

Diriwayatkan juga dari Al Barra’, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah dua orang muslim bertemu kemudian berjabat tangan kecuali akan diampuni dosa keduanya selama belum berpisah.” (Shahih Abu Dawud, 4343).

Ka’ab bin Malik mengatakan: “Aku masuk masjid, tiba-tiba di dalam masjid ada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Thalhah bin Ubaidillah berlari menyambutku, menjabat tanganku dan memberikan ucapan selamat kepadaku.” (HR. Al-Bukhari 4156).

Diriwayatkan dari Qatadah, ”Aku berkata kepada Anas bin Malik, ’Apakah bersalaman dilakukan oleh para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,” Anas menjawab, ”Ya". (HR. Bukhari dan Tirmidzi)

Hadits-hadits keutamaan salaman di atas menerangkan bahwa salaman yang dianjurkan adalah dilaksanakan pada saat seseorang bertemu dengan saudaranya. Dan menurut Imam An-Nawawi, berjabat tangan (salaman) telah disepakati sebagai bagian dari sunnah ketika bertemu. Ibn Batthal juga menjelaskan, “Hukum asal jabat tangan adalah satu hal yang baik menurut umumnya ulama.” (Syarh Shahih Al-Bukhari Ibn Batthal, 71/50).

Menghususkan Salaman Setelah Shalat

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya tentunya sangat memahami keutamaan salaman. Namun, tidak didapatkan satu riwayatpun bahwa mereka menghususkan bersalaman setelah selesai melaksanakan shalat, baik wajib maupun sunnah. Berarti bersalaman sesudah shalat tidak dikenal pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan khulafaur rasyidin. Sedangkan hadits-hadits yang menyebutkan bersalaman itu pada saat seseorang bertemu dengan saudaranya.

Syaikh Abdullah Al Jibrin mengatakan, "Banyak orang shalat menjulurkan tangannya  untuk berjabat tangan dengan orang-orang di sekitarnya yang dilakukan setelah selesai salam dari shalat wajib, perbuatan ini adalah bid'ah tidak diriwayatkan dari salaf."

Al-‘Izz bin Abdissalam berkata, “Berjabat tangan sesudah shalat Shubuh dan Ashar termasuk bid’ah, kecuali bagi orang yang baru datang dan berkumpul bersama orang-orang yang menyalaminya sebelum shalat. Sesungguhnya bersalaman disyari'atkan ketika baru datang. Setelah shalat, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam membaca dzikir yang disyariatkan, membaca istighfar tiga kali, lalu bubar.Ini yang terjadi pada zaman Al 'Izz bin

Abdissalam, sedangkan pada zaman kita bersalaman pada setiap shalat yang lima waktu dan setelah shalat-shalat sunnah.

Setidaknya ada dua kesalahan yang sering terjadi pada zaman sekarang ini. Pertama, para jama'ah tidak mengucapkan salam dan bersalaman ketika memasuki masjid dan berjumpa dengan saudaranya. Biasanya mereka langsung masuk dan melaksanakan shalat sunnah, kemudian shalat fardhu. Kedua, mereka berjabat tangan tepat setelah selesai shalat, padahal disyariatkannya pada saat bertemu.

Intinya, bahwa berjabat tangan itu baik, jika dilakukan di saat bertemu. Adapun seusai shalat, tidak ada hadits yang menerangkannya. Padahal suatu ibadah (yang dilazimi) itu harus ada dalil yang memerintahkannya. Jika tidak ada, maka tertolak dan tidak boleh diamalkan.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

"Siapa yang melaksanakan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalnya tersebut tertolak." (HR. Muslim dari Aisyah radliyallah 'anha)

Berdasarkan hadits di atas, Imam Bukhari membuat bab dalam shahihnya, "Apabila seorang yang beramal atau seorang hakim berijtihad, lalu salah karena menyelisihi Rasul tanpa didasari ilmu, maka hukumnya tersebut tertolak". Hal ini mengindikasikan bahwa pendapat satu atau dua orang ulama tidaklah menjadi wahyu baru yang mengandung kebenaran mutlak. Pendapat mereka bisa benar dan salah, bisa diterima dan ditolak, setelah ditimbang dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Dan jika salah dan menyelisihi sunnah harus ditinggalkan. Terlebih lagi, bahwa bersalaman sesudah shalat adalah tradisi kaum Syi'ah yang suka merubah-rubah ajaran Rasulillah shallallahu 'alaihi wasallam.

. . . bahwa bersalaman sesudah shalat adalah tradisi kaum Syi'ah yang suka merubah-rubah ajaran Rasulillah shallallahu 'alaihi wasallam.

Kesalahan lain tradisi bersalaman sesudah shalat adalah memotong tasbih atau dzikir saudara muslim. Sedangkan memotong dzikir tidak diperbolehkan kecuali dengan sebab-sebab syar’i. Namun, kenyataannya sering kita saksikan banyak orang yang mengganggu dzikir saudarnya dengan mengulurkan tangan untuk bersalaman. Larangan ini bukan semata-mata karena menjabat tangannya, namun juga karena terpotongnya dzikir dan kesibukan mengingat Allah Ta’ala.

Kesalahan lain tradisi bersalaman sesudah shalat adalah memotong tasbih atau dzikir saudara muslim.

Kapan Bersalaman Sesudah Shalat Dibolehkan?

Menghususkan salaman sesudah shalat tidak ada sunnahnya. Karenanya tidak boleh dijadikan aktifitas rutin dalam rangkaian shalat sehinga terkesan memiliki keutamaan yang lebih. Namun, jika seseorang tidak sempat bersalaman dengan saudaranya sebelum shalat, maka dibolehkan dilakukan sesudah salam atau sesudah dzikir. Bersalaman seperti ini bukan karena takhsis (menghususkan atau mengistimewakan) waktu sesudah salam untuk salaman. Tapi karena bertemu dengan kawan yang belum sempat berucap salam dan berjabat tangan.

Fatwa Syaikh Ibn Bazz

Syaikh Ibn Baaz rahimahullah mengatakan bahwa dianjurkan untuk bersalaman saat bertemu di masjid atau di shaff. Dan apabila tidak bersalaman sebelum melaksanakan shalat maka mereka bisa bersalaman setelah melaksanakan shalat sebagai bentuk pengimplementasian sunnah yang mulia serta untuk meneguhkan kasih sayang dan menghilangkan permusuhan.

Akan tetapi apabila tidak bersalaman sebelum shalat fardhu maka disyariatkan baginya untuk bersalaman setelahnya atau sesudah mengucapkan dzikir-dzikir yang disyariatkan.

Apabila tidak bersalaman sebelum shalat fardhu maka disyariatkan baginya untuk bersalaman setelahnya atau sesudah mengucapkan dzikir-dzikir yang disyariatkan. (Ibnu Bazz)

Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang bersegera bersalaman setelah melaksanakan shalat fardhu, setelah mengucapkan salam kedua, maka aku tidaklah mengetahui dasarnya dan yang jelas adalah bahwa hal itu adalah makruh dikarenakan tidak adanya dalil tentangnya karena yang disyariatkan bagi seorang yang shalat dalam keadaan seperti itu adalah bersegera mengucapkan dzikir-dzikir yang disyariatkan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam setelah melaksanakan shalat fardhunya.

Adapun shalat nafilah maka disyariatkan untuk bersalaman setelah salam apabila dia tidak bersalaman sebelum melaksanakan shalat itu dan jika ia telah bersalaman sebelumnya maka hal itu sudah cukup baginya." (Majmu’ Fatawa Ibn Baaz, juz XI, hal. 267)

Sikap Orang yang Diajak Salaman

Perlu diingat, tidaklah termasuk sikap yang bijaksana apabila kita menarik tangan saudara kita atau menolak tangan yang sudah terlanjur diulurkan kepada kita untuk berjabat tangan. Justru perbuatan seperti ini termasuk sikap batil, kasar, dan tidak sopan yang dilarang Islam. Lalu apa yang harus kita lakukan? Sikap yang lebih bijak adalah menerima uluran tangannya dengan lemah lembut, lalu dijelaskan bahwa berjabat tangan seperti itu tidak ada sunnahnya.

Bukan sikap yang bijak apabila kita menarik tangan saudara kita atau menolak tangan yang sudah terlanjur diulurkan kepada kita untuk berjabat tangan.

Semoga dengan kelemahlembutan tersebut, saudara kita tadi mengambil manfaat dari nasihat kita, sehingga dia meninggalkan perbuatan yang tidak sesuai dengan sunnah karena kebodohan atau yang lainnya. Karenanya, wajib bagi ahli ilmu untuk memberikan penjelasan dengan cara yang baik. Bisa saja seseorang ingin menegur kesalahan yang dilakukan orang lain, tapi dengan cara yang salah, justru menyebabkan dia melakukan kemungkaran yang lebh berat daripada kemungkaran yang ingin diluruskannya. Wallahu a'lam bi shawab




Share:

Recent Posts

Definition List

BTemplates.com

Counter

Pages